Iklan

Maret 17, 2024, Maret 17, 2024 WIB
Last Updated 2024-03-25T07:27:51Z
Berita

Ramadhan dan Islam Inklusif ; Mengenang Nurcholish Madjid

Advertisement


(85 Tahun Sang Tokoh Pembaharu, Guru Bangsa, Nurcholish Madjid, 17 Maret 1939)

Oleh : Andi Muh. Syaiful Haq - Ketua PB HMI Bidang Pembinaan Anggota


Assalamu'Alaikum Wr. Wb

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kamu bertakwa”. (QS. Al Baqarah : 189)

 

Aksara Tuhan yang menjelaskan kedalaman ritual penyucian bagi mereka yang menjalani ibadah puasa selama ramadhan. Puasa bukan hanya sekedar dipahami secara umumnya sebagai peristiwa sejarah yang terulang menahan lapar dan dahaga. Puasa juga harus dimaknai sebagai bentuk pengosongan diri dari hal-hal yang jauh dari kesucian, lalu mengisinya dengan Tauhid. Ramadhan harus kita pahami sebagai sebuah model pemurnian diri, maka sesunguhnya yang sedang mengalami metamorfosis adalah bentuk yang ada dalam diri kita bukan penampakan luar. Dan metamorfosis di dalam yang nantinya akan menunjang bentuk ketakwaan kita.

 

Ramadhan, secara harfiah berakar kata dari _ramida_, _ar ramad_, _ramdan_, bermakna kata "panas yang menghanguskan", "kering", "pembakaran". Ikhtiar "membakar" sesuatu, itu semakna dengan ramadhan, tetapi umat muslim dituntut untuk memaknainya dengan nuansa spiritual. Jika kita mengilustrasikan bulan-bulan yang lain itu bersifat materil, maka bulan ramadhan itu bersifat spiritual. Sehingga ini menjadi interupsi atas kesadaran kita, apapun aktifitas yang hendak kita ikhtiarkan pada bulan Ramadhan ini, harus diletakkan dalam kesadaran spiritual. _Ramdan_, dalam arti pembakaran spiritual itu diilustrasikan bahwa sebenarnya ramadhan ini adalah suatu ikhtiar untuk menemukan kembali diri kita yang asli, diri kita yang _otentik_. Jadi, salah satu cara memisahkan mana diri kita yang otentik dan mana diri kita yang palsu, itu salah satu wadahnya adalah Ramadhan. Mengapa kita selalu terjebak pada diri yang palsu, karena sejauh ini kita selalu terjebak untuk merumuskan "Siapa diri kita sebenarnya". Ramadhan, sebagai suatu aktus pembakaran, diilustrasikan sebagai emas atau logam mulia, ketika emas terkepung pada logam-logam palsu, maka tiada cara lain kecuali dengan cara melakukan aktifitas pembakaran dengan titik didih tertentu, untuk memisahkan pada emas logam mulia, dan mana logam palsu. Ramadhan ini hadir, untuk membakar dan menempa kita semua secara spiritual, untuk memilih dan memilah agar kita bisa menemukan mana "diriku" yang asli, dan mana "diriku" yang palsu. Menemukan diri, adalah Mission Ramadhan, dan juga Mission Keislaman.

 

Nurcholish Madjid atau lebih akrab disapa Cak Nur, mengambarkan bentuk ketakwaan ataupun amal shaleh sebagai bentuk ilahi dalam kegiatan-kegiatan berbudaya yang serasi dalam hubungannya dengan lingkungan hidup ini secara menyeluruh, juga dalam hubungannya antara kehidupan yang materil, dan spiritual. Ada satu kata inti dalam spiritualisme Islam, yaitu tentang kata _raj'a_, _raj'u_, _raji'un_ "pulang", "kembali". _Innalillahi Wa Innailaihi Raji'un_. Apa sebenarnya hakikat, "pulang" ? Secara filosofis yang disebut pulang, pada hakikatnya adalah orang yang senantiasa tiba pada titik dimana ia berangkat. Ketika kita berangkat pada titik dan kembali pada titik yang sama, maka kita sukses untuk pulang. Hasan Hanafi, tokoh pemikir Islam kontemporer dari Mesir, dalam buku Al-Din wa Al-Tsawrah, ditegaskan bahwa agama pada dasarnya dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia sejagat. Diakui bahwa agama bertolak dari Tuhan dan berujung pada Tuhan (Tauhid), tetapi kemaslahatan dari prinsip ini bukan untuk Tuhan, sebab Tuhan maha kaya, melainkan untuk kemaslahatan, kedamaian, kasih sayang umat manusia secara keseluruhan. _Rahmatan Lil' Alamin_.

 

Nurcholish madjid (Cak Nur) yang mewacanakan perlunya pembaruan pemikiran Islam (1970) ini, melanjutkan seruan Bung Karno tentang menghidupkan pemikiran baru. Karena bagi Cak Nur, Islam harus selalu dibuat relevan (modernisasi). Disini kita menemukan titik apa yang mereka (bung karno & cak nur) sebut itu sebagai "api islam". Meskipun bung karno tidak menawarkan suatu metode terhadap pembaruan pemikiran tersebut dikarenakan latar belakang bung karno yang tentu berbeda. Bung karno sebagai pemikir revolusioner disini mencoba meggebbrak orang-orang untuk bangun dari tidurnya. Sedangkan Cak Nur, yang memiliki latar belakang pesantren yang membuatnya banyak menguasai bahasa asing (terutama bahasa arab), dan aktifis organisatoris dalam sejarahnya menjabat 2 Periode di PB HMI sebagai Ketua Umum, karena menyatunya kepercayaan kader yang mengapresiasi kecakapan intelektual Cak Nur, sehingga Cak Nur lebih memiliki metode untuk memberikan gagasan tentang pembaruan pemikiran Islam.

 

Para penentangnya salah paham dan berhenti memahami alur pikirannya dengan baik. Menurut Cak Nur, perlunya sekularisasi dikalangan kaum Muslim, penting untuk memberikan arah yang jelas tentang urusan dunia yang memang bersifat duniawi dan dengan urusan ukhrawi (akhirat) yang bersifat transenden. Agar kaum muslim mampu menemukan ide-ide progresif untuk kemajuan umat dan bangsa yang berangkat dari keterbukaan/kebebasan berfikir yang tentunya tidak bersifat sektarian. Sikap tunduk pasrah hanya dihadapan Allah semata (tauhid) membuat kaum muslim mampu berfikir lebih terbuka, yang dimana konsep Cak Nur tentang "Modernisasi ialah rasionalisasi, bukan westernisasi". Desakralisasi terhadap sesuatu yang memang bersifat duniawi dan hanya meyakini yang satu yang memang patut untuk disembah, akan mengantarkan kaum muslim kepada sikap inklusif, kebebasan berfikir dengan mengedepankan budaya intelektual (diskusi) ketimbang menjadi muslim yang takfiri/taqlid buta. "Menyimpan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang baik", "neotradisionalmodernisme". Salah satu pilar pemikirannya, adalah upaya mempertegas substansi Tauhid dengan memandang Tuhan sebagai Yang Maha Absolut. Sebagai Konsekuensi cara pandang ini, maka manusia semestinya memandang selain-Nya hanyalah maujud relatif yang senantiasa bergerak menuju kesempurnaan Absolut. Hal ini disebabkan adanya kesulitan ummat untuk membedakan antara yang benar-benar suci dengan masalah yang profan. Sehingga muncul suatu sikap yang kurang proporsional seperti kecenderungan memposisikan institusi tertentu, yang bersimbolkan Islam sebagai sesuatu yang _include_ dalam sakralitas dan menjadikannya bagian dari Agama _an sich_. Perhatian mendiang Cak Nur terhadap masalah ummat, bahwa ummat muslim Indonesia khususnya, mengalami stagnasi pemikiran dan terjebak pada pada formalisme agama namun substansi dan spirit jiwa Islam senantiasi meredup.

 

Islam, seharusnya menjadi spirit yang terkandung dalam ajaran-ajarannya untuk kebaikan semua orang. Soekarno menyerukan kepada kaum muslim untuk menghidupkan pemikiran baru yang selaras dengan tuntutan zaman dan masyarakat. Sebab katanya, masyarakat adalah barang yang tidak bisa diam (dinamis). Bung Karno melihat, adanya jurang pemisah antara apa yang kita pahami tentang Islam dan apa yang menjadi kenyataannya, sehingga Bung Karno memandang perlu adanya pembaruan pemikiran Islam. Bung Karno juga mengkritik kaum muslim dengan kecenderungannya menjadikan fiqih (_fiqh_) sebagai satu-satunya tiang agama. Karena menurut Soekarno, tiang keagamaan terletak didalam ketundukan kita kepada Allah SWT (Tauhid). Karena itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan, demikian pula nilai keagamaan mustahil berlawanan dengan nilai kemanusiaan. Agama tidak dibuat sebagai penghalang bagi kemanusiaan. Agama berasal dari Tuhan, tetapi untuk kepentingan manusia sendiri. Manusia harus berbuat baik demi memperoleh perkenan Tuhan, dan justru dengan cara berusaha memperoleh _ridha_ Tuhan itu, manusia berbuat sebaik-baiknya untuk dirinya sendiri.

 

Sehingga tingkat kebertakwaan seseorang itu dapat kita lihat berdasarkan seberapa bermanfaatnya seseorang itu terhadap orang lain, yang kemudian dibuktikan dangan cara kerja-kerja nyata kemanusiaan. Sebab sulit menakar-nakar bentuk kebertakwaan seorang manusia berdasarkan peribadatan pribadinya terhadap Tuhan. Begitupun dengan para politikus yang memainkan politisasi estetika dalam metode propoganda, upaya pemaksaan penyimbolan, ataupun kerja yang memperindah tampilan serta panggung pertunjukan diri. Namun tampilan mengada-ada yang menyembunyikan fakta sebenarnya, palsu. Tak penting apakah dia seorang terpidana korupsi ataupun mantan koruptor yang penting adalah ia mampu menciptakan sebuah karakter dari bentuk kamuflase dan pencitraan dengan gaun ketakwaan terhadap Tuhan, guna menarik rasa simpatik dan empati masyarakat untuk memenuhi hasrat kemewahannya. Inilah yang diawal penulis sebutkan sebagai "diri yang palsu", jauh dari "diri yang asli, otentik"

 

Jika kita telah memahami ketakwaan dan Ramadhan sebagai suatu bulan penuh kejutan, keajaiban, dan bermakna spiritual, yang harus diselesaikan seperti sebuah rubik yang perlu disusun dengan rumus-rumus tanpa keterpura-puraan. Tentu saja kita berharap tidak akan terjebak dalam kemegahan demi keinginan yang menghabiskan ratusan ribu hanya untuk hal-hal yang belum tentu menjadi kebutuhan. Seperti melihat sebuah pesta kecil yang coba di tawarkan oleh mercon dan kembang api dibawah sinar rembulan, dan ditengah "kesunyian yang ramai" Ibadah Tarawih, sementara ada seseorang yang terpaksa mencuri, ada keluarga yang harus memaksakan diri untuk meminjam uang diluar kemampuan upahnya untuk sahur dan ber-buka. Artinya, kita semua harus mengoreksi diri kita, menemukan diri kita yang otentik, hidup dalam kesederhanaan, saling memberi dan mengasihi seperti halnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

 

Al-Fatihah.

 

Wassalamu'Alaikum Wr. Wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar